KAMPUNG
DUKUH
Kampung
dukuh di dirikan oleh seorang ulama yang bernama Syekh Abdul Jalil.
Landasan budaya tersebut mempengaruhi dalam bangunan fisik serta adat istiadat
masarakat Kampung Dukuh. Ia adalah
seorang ulama yang diminta oleh Bupati Sumedang
untuk menjadi penghulu atau kepala agama di kesultanan Sumedang pada abad
ke-17, dimana pada waktu itu Bupati sumedang adalah Rangga Gempol II dan
penunjukan Syekh Abdul Jalil tersebut atas dasar saran dari raja Mataram.
Pada
waktu diminta menjadi penghulu atau kepala agama di Sumedang, syekh abdul jalil
mengajukan 2 syarat, yang pertama tidak boleh melanggar hukum syara (hukum
agama, seperti membunuh, berzinah, merampok dsb), dan yang kedua adalah
bupati/pemimpin dan rakyatnya harus bersatu. Jika kedua syarat tersebut tidak
di langgar maka ia ia akan mengundurkan diri dari jabatan penghulu/kepala
agama.
Dua
belas tahun kemudian terjadilah pembunuhan utusan dari kerajaan banten.
Pembunuhan itu diperintahakan aleh Rangga Gempol II karena, rangga gempol
menolak untuk tunduk ke kerajaan Banten,
bukannya pada mataram. Pada saat peristiwa itu terjadi Syekh Abdul Jalil sedang
berada di Mekkah, Setelah mendengar berita itu dari wakilnya, ia merasa sedih
karena telah terjadi pelanggaran terhadap hukum syara. Maka ia pun pergi
meninggalkan Sumedang dan menetap di Batuwangi selama tiga setengah tahun.
Kemudian ia melanjutkan lagi perjalanannya ke selatan dan tinggal di suatu
daerah yang bernama Tonjong selama setengah tahun.
Di
setiap tempat yang disinggahinya Syekh Abdul Jalil selalu betafakur memohon
kepada Allah untuk mendapatkan tempat yang cocok untuk tinggal dan dan
menggajarkan ilmu agamanya dengan tenang. Pada saat bertafakur, ia melihat
sebuah sinar sebesar pohon aren ( Arenga Sacchan fera). Sinar itu bergerak
menuju suatu tempat, di ikuti oleh Syekh Abdul Jalil, dan sinar itu menghilang
diantara sungai Cimangke
dan Cipasarangan.
Ternyata tempat tersebut sudah ada penghuninya yaitu pakebon dan nikebon (orang
yang menunggui huma atau ladang) yang bernama Aki dan Nini Candradiwangsa.
Setelah kedatangan Syekh Abdul Jalil, tempat tersebut diserahkan kepadanya oleh
aki dan nini Candra dan merekapun pulang ke rumahanya.
Sepeninggal
aki dan nini Candra, Syekh Abdul Jalil menetap di daerah tersebut dan
menyebarkan pengetahuan agama yang ia miliki, sehingga terbentuklah kampung
adat dukuh dan masih tetap berdiri sampai saat ini. Kalau dilihat dari
sejarahnya masyarakat adat dukuh itu memiliki hak ulayat atau wilayah adat yang
mempunyai batas sebagai berikut : pada sebelah utara dibatasi oleh Gunung
ragas (haur duni Istilah masyrakat lokalnya), sebelah selatan dibatasi oleh
laut kidul (Pantai selatan), sebelah barat dibatasi oleh Sungai Cimangke, dan
sebelah timur dibatasi oleh sungai Cipasarangan.
Batas-batas
ini kemudian secara administratif di jadikan batas desa Cijambe.
Dimana sekitar tahun 1984 batas wilayah adat dukuh secara administratif
dilakukan pemekarkan menjadi 2 desa, yaitu menjadi desa karang sari dan desa
cijambe, kondisi ini masih bertahan sampai saat ini. Wilayah utara kampung
dukuh merupakan sumber kekayaan masyarakat adat dukuh, karena di dalamnya
terdapat kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan bagi kehidupan, kesejahteraan
dan kemakmuran masyarakat adat tersebut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar