Selasa, 31 Januari 2012

Sejarah Ekonomi Bangsa Indonesia

A.    Sejarah Ekonomi bangsa Indonesia
1.      PEMERINTAHAN ORDE LAMA Setelah merdeka, khususnya pada tahun-tahun pertama setelah kemerdekaan, keadaan ekonomi Indonesia sangat buruk, ekonomi nasional boleh dikatakan mengalami stagflasi.  Defisit neraca saldo pembayaran dan defisit keuangan pemerintah sangat besar, kegiatan produksi di sector pertanian dan industri manufaktur praktis terhenti, tingkat inflasi sangat tinggi hingga mencapai lebih dari 500 % menjelang akhir periode orde lama.  Semua ini disebabkan oleh berbagai factor, di antaranya:
pendudukan JepangPerang Dunia IIperang revolusimanajemen ekonomi yang burukketidakstabilan kehidupan po;itikseringnya pergantian cabinetketerbatasan factor produks
Selama periode 1950-an, struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan jaman kolonialisasi.  Pada umumnya kegiatan ekonomi yang masih dikuasai pengusaha asing tersebut lebih padat kapital dibanding  kegiatan-kegiatan ekonomi yang didominasi pengusaha pribumi.
Struktur ekonomi seperti itu disebut Dual Societes oleh Boeke (1954), yang merupakan salah satu karakteristik utama dari negara-negara sedang berkembang, yang merupakan  warisan kolonianisasi.  Dualisme di dalam struktur ekonomi seperti ini terjadi karena biasanya pada masa penjajahan pemerintah yang berkuasa menerapkan diskriminasi dalam kebijakan-kebijakannya, baik yang bersifat langsung seperti mengeluarkan peraturan atau undang-undang, maupun yang tidak langsung.  Diskriminasi ini sengaja diterapkan untuk  membuat perbedaan dalam kesempatan melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu antara penduduk asli dan orang-orang non pribumi.
Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda (dan asing lainnya) yang dilakukan pada 1957 dan 1958 adalah awal dari periode “ekonomi terpimpin”.  System politik dan ekonomi pada masa orde lama, khususnya setelah “ekonomi terpimpin” dicanangkan, semakin dekat dengan pemikiran sosialis-komunis.  Sebenarnya pemerintah khususnya dan masyarakat umumnya, memilih pemikiran politik berbau komunis hanya merupakan refleksi dari perasaan anti kolonialisasi, anti imperealisasi dan anti kapitalisasi pada masa itu.  Di Indonesia pada masa itu prinsip individualisme, persaingan bebas dan perusahaan swasta/asing sangat ditentang oleh pemerintah dan masyarakat umumnya prinsip tersebut sering dikaitkan dengan pemikiran kapitalisme.

Keadaan ini membuat Indonesia sulit mendapat dana (pinjaman dan Penanaman Modal Asing) dari negara-negara barat.  Sumber utama PMA di Indonesia berasal dari Belanda.

Akhir Sptember 1965, ketidakstabilan politik di Indonesia mencapai puncaknya dengan terjadinya kudeta yang gagal dari PKI, yang selanjutnya juga mengubah system ekonomi Indonesia dari sosialis ke semikapitalis.

PEMERINTAHAN ORDE BARUTepatnya Maret 1966 Indonesia memasuki pemerintahan orde baru.  Perhatian pemerintah lebih ditujukan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan ekonomi dan social di tanah air.  Hubungan dengan negara barat dijalin kembali dan ideology komunis dijauhi.  Indonesia kembali menjadi anggota PBB, IMF dan World Bank.
Langkah yang dilakukan pada masa orde baru antara lain:
pemulihan stabilitas ekonomi, social dan politik serta rehabilitasi ekonomimencukupkan stok cadangan bahan pangan (terutama beras)menghidupkan kegiatan produksimeningkatkan ekspormenekan tingkat inflasimengurangi defisit keuangan pemerintahmenciptakan lapangan pekerjaanmengundang kembali investor asingpenyusunan rencana pembangunan lima tahun secara bertahap dengan target-target yang jelas.
Secara keseluruhan program ekonomi pemerintah orde baru dibagi menjadi dua jangka waktu yang saling berkaitan yaitu Program jangka pendek dan Program jangka panjang.  Program jangka pendek meliputi:
tahap penyelamatan (Juli-Desember 1966)tahap rehabilitasi (Januari-Juni 1967)tahap konsolidasi (Juli-Desember 1967)tahap stabilisasi (Januari-Juni 1968)
Program jangka pendek ini dilanjutkan dengan program jangka panjang, yang terdiri atas rangkaian REPELITA yang dimulai April 1969.  program jangka panjang dibagi menjadi tahapan-tahapan Repelita.  Tahap pelaksanaan Pelita I (1969/1970) sampai Pelita V (1993/1994) disebut Pembangunan Jangka Panjang 25 tahun Pertama (PJP I).  Sedangkan Pelita VI sampai Repelita X disebut PJP II.  Namun pemerintah orde baru hanya dapat menyelesaikan sampai tahap pembangunan pelita VI sedangkan pelita VII hanya sempat dilaksanakan satu tahun anggaran.

Adapun tujuan janka  panjang dari pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa orde baru adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui proses industrialisasi dalam skala besar, yang pada saat itu diangggap satu-satunya cara yang paling tepat dan efektif untuk menanggulangi masalah-masalah ekonomi, seperti kesempatan kerja dan defisit neraca pembayaran.

Pada masa pemerintahan orde baru pelaksanaan pembangunan senantiasa  diarahkan pada pencapaian tiga sasaran pembangunan, meskipun prioritasnya berubah-ubah sesuai dengan masalah dan situasi yang dihadapi saat ini.  Ketiga sasaran tersebut dikenal dengan Trilogi Pembangunan:
stabilitas perekonomianpertumbuhan ekonomipemerataan hasil-hasil  pembangunanDampak Repelita I dan pelita-pelita berikutnya terhadap perekonomian Indonesia cukup mengagumkan.  Proses pembangunan berjalan sangat cepat dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun yang cukup tinggi, jauh lebih baik daripada selama orde lama dan juga relatif lebih tinggi daripada laju rata-rata pertumbuhan ekonomi dari kelompok negara-negara berkembang.

Perubahan ekonomi structural juga sangat nyata selama masa orde baru bila dilihat dari perubahan PDB, terutama dari sector pertanian dan industri.  Meningkatnya kontribusi output dari sector industri manufaktur terhadap pertumbuhan PDB selama periode orde baru mencerminkan adanya proses industrialisasi atau transformasi ekonomi di Indonesia dari negara agraris ke semi industri.  Ini merupakan salah satu perbedaan nyata dalam sejarah perekonomian Indonesia antara rezim orde baru dengan orde lama.

Sejak masa orde lama hingga berakhirnya orde baru dapat dikatakan Indonesia telah mengalami 2 orientasi kebijakan ekonomi yang berbeda, yakni ekonomi tertutup yang berorientasi sosialis pada  jaman Soekarno ke ekonomi terbuka yang berorientasi kapitalis pada jaman Soeharto.  Perubahan orientasi kebijakan ekonomi ini membuat kinerja ekonomi nasional pada pemerintahan orde baru lebih baik dibanding pemerintahan orde lama.

Pengalaman ini menunjukkan beberapa kondisi utama yang harus  dipenuhi terlebih  dahulu agar usaha  membangun ekonomi berjalan baik.  Kondisi-kondisi tersebut adalah sebagai berikut:
kemauan yang kuat (political will)stabilitas politik dan ekonomiSDM yang lebih baiksystem politik dan ekonomi yang Western Orientedkondisi ekonomi dan politik dunia yang lebih baik
Kebijakan-kebijakan ekonomi masa orde baru memang telah menghasilkan proses transformasi ekonomi yang pesat dan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi dengan biaya yang sangat mahal dan fundamental  ekonomi yang rapuh.  Dapat dilihat antara lain pada buruknya kondisi sector perbankan nasional dan semakin besarnya ketergantungan Indonesia terhadap modal asing, termasuk pinjaman dan impor.

PEMERINTAHAN TRANSISITanggal 14 dan 15 Mei 1997 nilai tukar bath Thailand terhadap dolar AS mengalami goncangan hebat akibat para investor asing mengambil keputusan “jual”.  Mereka mengambil sikap demikian karena tidak percaya lagi terhadap prospek perekonomian negara tersebut, paling tidak untuk jangka pendek.  2 Juli 1997 bank sentral Thailand terpaksa mengumumkan nilai tukar bath dibebaskan dari ikatan dengan dolar AS.  Sejak itu nasibnya diserahkan sepenuhnya pada pasar.  Hari itu juga pemerintah Thailand meminta bantuan IMF.

Apa yang terjadi di Thailand akhirnya merembet ke Indonesia dan beberapa negara asia lainnya, awal dari krisis keuangan di Asia.  Rupiah Indonesia  mulai terasa goyang sekitar Juli 1997 dari Rp.2500 menjadi Rp.2650 per dolar AS.  Sejak saat itu, posisi mata uang Indonesia mulai tidak stabil.

Sekitar September 1997, nilai tukar rupiah yang terus melemah mulai menggoncang perekonomian nasional.  Untuk mencegah agar keadaan tidak bertambah buruk, pemerintah orde baru mengambil beberapa langkah konkrit, di antaranya menunda proyek-proyek senilai Rp.39 trilyun dalam upaya mengimbangi keterbatasan anggaran belanja negara yang sangat dipengaruhi perubahan nilai rupiah tersebut.  Awalnya pemerintah berusaha menangani krisis rupiah ini dengan kekuatan sendiri.  Akan tetapi setelah menyadari merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak dapat dibendung lagi dengan kekuatan sendiri, lebih lagi karena cadangan dolar AS di BI mulai menipis karena terus digunakan untuk intervensi untuk menahan atau untuk mendongkrak kembali nilai tukar rupiah.  8 Oktober 1997 pemerintah Indonesia meminta bantuan keuangan dari IMF.  Hal yang sama juga dilakukan pemerintah Thailand, Filiphina dan Korea Selatan.

Akhir Oktober 1997 IMF mengumumkan paket bantuannya pada Indonesia yang mencapai 40 milyar dolar AS, 23 milyar di antaranya adalah pertahanan lapis pertama (front line defence).  Sehari setelah pengumuman itu, seiring dengan paket reformasi yang ditentukan oleh IMF, pemerintah mengumumkan pencabutan ijin usaha 16 bank swasta  yang dinilai tidak sehat.  Ini merupakan awal kehancuran perekonomian Indonesia.

Krisis rupiah yang menjelma menjadi krisis  ekonomi akhirnya menimbulkan krisis politik yang dapat dikatakan terbesar dalam sejarah Indonesia sejak merdeka.  21 Mei 1998 presiden Soeharto mengundurkan diri dan diganti oleh wakilnya BJ.Habibie. 23 Mei 1998 presiden Habibie membentuk kabinet baru, awal terbentuknya pemerintahan transisi.

4.      PEMERINTAHAN REFORMASIDalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, pada 1999 kondisi perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan.  Laju pertumbuhan PDB mulai positif walaupun tidak jauh dari 0 % dan pada tahun 2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan hampir mencapai 5 %.

Selama pemerintahan reformasi, praktis tidak ada satupun masalah di dalam negeri yang dapat terselesaikan dengan baik.  Berbagai kerusuhan social yang bernuansa disintegrasi dan sara terus berlanjut, misalnya pemberontakan di Aceh, Maluku, dsb.  Belum lagi demonstrasi buruh semakin gencar yang mencerminkan semakin tidak puasnya mereka terhadap kondisi perekonomian di dalam negeri, juga pertikaian elit politik semakin besar.

Selain itu, hubungan pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Abdurahman Wahid dengan IMF juga tidak baik, terutama karena masalah amandemen UU no.23 tahun 1999 mengenai Bank Indonesia, penetapan otonomi daerah, terutama menyangkut kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda pelaksanaannya.  Tidak tuntasnya revisi tersebut menyebabkan IMF menunda pencairan bantuannya, padahal roda perekonomian nasional saat itu bergantung  pada bantuan IMF.  Selain itu, Indonesia terancam dinyatakan bangkrut oleh Paris Club (negara-negara  donor) karena sudah kelihatan jelas bahwa Indonesia  dengan kondisi perekonomian yang semakin buruk dan defisit keuangan pemerintah yang terus membengkak, tidak mungkin mampu membayar kembali hutangnya yang sebagian besar akan jatuh tempo pada 2002.  bahkan Bank Dunia  juga mengancam akan menghentikan pinjaman baru jika kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia macet.

SEJARAH KETATA NEGARA DAN POLITIK PEMERINTAHANMembahas sejarah tata negara baik secara makro maupun mikro, berarti masuk ke kawasan politik. Sedangkan wilayah politik itu sendiri dapat dikaji dari segi: sejarah politik, sosiologi politik, antropologi politik, dan ilmu politik.
Dimensi ini saling mengoreksi dan melengkapi dalam pembahasannya, sehingga ditemukan fenomena yang utuh  tentang konsep sejarah tata negara. Oleh karena itu dalam pembahasannya, sejarah tata negara tidak dapat bediri sendiri, sehingga memerlukan suatu terminologi yang lebih multidimensional dalam pendekatannya.   Pertama sejarah politik.
Dari segi  efistomologis sejak Thucydides menulis Perang Peloponesianya sebagai sejarah politik, tradisi sejarah sangat didominasi oleh sejarah politik. Lebih-lebih dalam  abad ke-19 sebagai abad nasionalsme dan formasi negara nasional di Eropa Barat, sejarah politik-lah yang sangat menonjol. Dalam konsep itu, sejarah diplomasi dan perang sangat menonjol di suatu pihak, dan di lain pihak peranan  para raja, panglima perang, dan negarawan memegang peranan sentral. Fenomena ini masih kuat pengaruhnya sampai sekarang. Hai ini disebabkan oleh adanya angapan bahwa jalannya sejarah ditentukan oleh kejadian plitik, diplomasi, perang, dan aktivitas militer.  Di samping itu ada pula teori orang besar, yang mengatakan bahwa orang besarlah yang menentukan jalannya sejarah. Fenomena ini terbukti dari banyaknya karya biografi tokoh-tokoh sampai pada Perang Dunia II. Perkembangan itu sejajar dengan berkembangnya sejarah nasional yang pada masa tersebut sedang mengalami pertumbuhan yang pesat.
Mempelajari sejarah politik, tidak dapat dilepaskan dari sejarah sosial. Tulisan dengan dimensi itu dapat dilihat pada tulisan Akira Nagazumi, “Bangkitnya Nasionalisme Indonesia” dalam edisi bahasa Indonesia. Demikian pula sebaliknya, sejarah sosial tidak dapat dilepaskan dengan sejarah politik. Lihat tulisan Sartono Kartodirdjo, 1966,  Pemberontakan Petani Banten 1888.
Kemudian apakah yang dibahas oleh sejarah politik. Secara konvensional, sejarah politik membahas sejarah perang, sejarah parlementer, sejarah kerajaan; dan sejarah modern dalam arti teori dan metodologisnya  sejarah politik membahas tema-tema yang luas misalnya biografi politik, partai politik, birokrasi, struktur politik suatu masyarakat atau negara, pemberontakan, hubungan sivil-militer dan lain sebagainya. Sejarah modern tersebut lebih bersifat tematis sehingga temanya sangat luas. Di Indonesia ada dua contoh tentang biografi politik yang dikemas menjadi sejarah politik misalnya tulisan L.D.Legge  dan Dahm yang sama-sama menulis  Tentang Soekarno. Oleh karena itu, membicarakan biografi politik sebagai tema mikro, dapat dimasukkan sebagai bagian dari sejarah tata negara.
Kedua sosiologi politik, yang merupakan interdisiplin sosiologi yang pernah dikembangkan secara metodologis oleh Max Weber abad ke-19. Sosiologi politik dapat membicarakan tipe kepemimpinan yang menurut teori Weber ada tiga yaitu: (1) otoritas tradisional yang dimiliki berdasarkan pewarisan atau turun temurun; (2) otoritas karismatik, yaitu berdasarkan pengaruh dan kewibawaan pribadi; dan (3) otoritas legal rasional yang dimiliki berdasarkan jabatan serta  kemampuannya. Di negara-negara berkembang, tipe kepemimpinan rasional dan kharismatik sering digabungkan menjadi satu. Contohnya sebagai refleksi, dalam diskusi mengenai korupsi di Indonesia yang diselenggarakan oleh Dewan Pertahanan Nasional tahun 2000 antara lain dibahas mengenai  “Merit Sistem”, yang artinya bahwa kedudukan atau jabatan harus didasarkan pada prestasi, sehingga praktek KKN tidak terjadi. Ini berarti bahwa Merit Sistem didasarkan pada tipe kepemimpinan rasional. Di samping itu sosiologi politik, selain membahas tipe kepemimpinan baik formal maupun in formal, juga membahas struktur politik, partai politik, partisipasi politik, hubungan sivil-militer, tokoh politik, dan peranan serta fungsi kelembagaan politik.
Adapun perbedaan antara pemimpin formal dan informal adalah pada otoritas yang dimilikinya. Pemimpin tipe formal memperoleh kekuasaan dari jabatan atau pemimpin formal, sedangkan tipe informal adalah pemimpin informal, dan pada dia ada kekuasaan karismatis. Dalam konteks Indonesia, tipe formal pada umumnya juga memiliki otoritas tradisional, ialah golongan aristokrasi yang masih mempunyai hak mewariskan jabatan, terutama yang memangku jabatan pamong praja. Pada umumnya pelbagai tipe kepemimpinan menduduki lokasi sosial-historis dengan orientasi nilai yang berbeda-beda, sehingga berbeda pula reaksinya terhadap inovasi, yaitu penolakan, adaptasi, dan asimilasi. Konflik politik dapat dikembalikan kepada faktor sosiokultural dengan kepentingan ideologi atau nilai tertentu.
Dalam konsepsi ini, ahli ilmu sosiologi politik telah mengambil sistem kategorisasi jenis sistem politiknya sekaligus merupakan studi perbandingan.
Analisis strukturalnya membahas status dan peranan perbagai elite, hubungan dan perbandingan kekuasaan antara mereka, kesemuanya dalam kerangka hirarkis suatu sistem feodal. Struktur kekuasaan sangat menentukan struktur sosial dengan kedudukan birokrasi yang sangat sentral fungsinya.   Dalam hubungan ini sangatlah relevan menelaah kehidupan sosial antara  golongan sosial, terutama dalam konteks kepentingan, status sosial, ideologi, serta sistem nilai-nilainya.
Tidak dapat diabaikan kenyataan bahwa tindakan dan interaksi politik tidak dapat berjalan di luar kerangka kebudayaan politik (political culture). Di sini tindakan, kelakukan, serta sikap perlu dilembagakan.
Suatu determinisme sosial sudah barang tentu berpendapat bahwa seluruh peranan seorang tokoh ditentukan oleh struktur masyarakat, atau paling tidak peranannya dijalankan dalam batas-batas struktural masyarakat.  Pelaku tidak dapat sepenuhnya melepaskan diri dari ikatan  atau subjektivitas itu, khususnya berkaitan dengan pandangan dunia. Sebaliknya, perlu diakui bahwa tokoh sejarah acapkali lebih jauh memandang ke depan atau berperan sebagai perintis atau protagonis. Protagonisme atau inovasi sering menuntut perubahan evolusioner sehingga pelaksanaannya menuntut kepribadian atau kepemimpinan yang kuat. Tepatlah kiranya apabila dikatakan bahwa tokoh menjadi orang marginal dan pencipta sub-kultur, akhirnya dapat menciptakan kultur dominan dalam kajian sosiologi politik.
Ketiga antropologi politik. Pada awalnya, antropologi politik membicarakan perkembangan masyarakat kesukuan, hal  ini karena antropologi lebih menekankan pada sistem kekerabatan. Kemudian  antropologi politik  berkembang pengkajiannya  pada simbol-simbol politik, satrategi politik, hubungan kebudayaan politik, serta adat-istiadat setempat dalam hubungannya dengan politik. Antropologi politik, sangat erat hubunganya dengan antropologi sosial. Sebagai permisalan, kolusi dan korupsi yang terjadi dalam pemerintah politik, akan lebih tajam pembahasannya jika dikaji dengan antropologi politik.
Hal ini karena menyangkut masalah kebudayaan politik dalam hubungannya dengan korupsi.
Untuk membahas kerajaan tradisional, sebagai contoh lain, tepatlah kiranya analisis antropologi politik dipakai untuk mengupas sistem politiknya, yang mencakup otoritas kharismatis atau tradisional, patrionalisme, feodalisme, birokrasi tradisional, dan lain sebagainya. Banyak antropolog semacam itu misalnya Cunningham, Schorl, dan Schulte-Nordholt.  Pada hakikatnya yang mereka hasilkan lebih merupakan sejarah struktural dengan pendekatan sinkronis.
Maka dari itu, tepatlah kiranya apabila sejarawan menggarap tema yang sama secara diakronis, meskipun tanpa mengabaikan pendekatan strukturalnya.
Keempat ilmu politik. Dalam studi ilmu politik, bidang ketatanegaraan konsentrasinya hanya negara-negara modern, yaitu negara-negara yang muncul menjelang Perang Dunia I terutama kerajaan-kerajaan yang mulai meninggalkan tradisi monarkhi, dan pembahasannya dteruskan pada  negara-negara setelah Perang      Dunia II. Dalam hubungan ini, skenario politik  baik di tingkat makro maupun mikro, dapat digambarkan secara rinci berdasarkan analisis ilmu sosial sedemikian rupa, sehingga dapat diekstrapolasikan,  antara lain:
gejala atau pola umum perjuangan politik. kecenderungan dalam proses politik yang  menunjukkan keteraturan (regularities).Kedua gejala ini akan menambah makna kejadian-kejadian serta memberi kemungkinan untuk membuat suatu perbandingan  serta generalisasi.
Dimensi sosial dari proses politik mencakup status  dan peranan elite politik: bangsawan, aristokrasi, birokrat, kaum intelegensia, elite religius, meritokrasi, teknokrasi, elite desa, dan lain sebagainya. Otoritas yang mereka miliki antara lain otoritas karismatis, termasuk pula yang sudah mengalami rutinisasi, otoritas tradisional, otoritas legal dan rasional. Bagaimana interaksi dalam proses perjuangan kekuasaan, terutama dalam periode transisi (abad ke-19 dan ke-20) sewaktu orientasi nilai-nilai bergeser sebagai dampak proses penetrasi pengaruh Barat dan modernisasi. Posisi sosial kultural elite masing-masing menimbulkan konflik, yang menimbulkan fenomena yang bernuansa dari proses sosial dan politik yang selalu berkesinambungan. Lebih jauh hal ini akan di bahas pada bab-bab berikutnya dari kajian sejarah tata negara ini.
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa  kajian ilmu  politik, berarti memasuki wilayah kekuasaan. Karena dalam hal ini, ilmu politik berarti ilmu yang membahas tentang bagaimana cara untuk mendapatkan kekuasaan baik dalam konsep yang bersahaja maupun modern, dan bagaimana cara-cara  untuk mempertahankannya. Konsep ini tampak sederhana, tetapi setelah memasuki wilayah kajiannya, maka akan ditemukan fenomena-fenomena yang sangat kompleks, yang mewarnai kajian ilmu politik, dan memperkaya kajian sejarah ketatanegaraan yang akan dibahas dalam buku ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar