A. Sejarah Ekonomi bangsa Indonesia
1. PEMERINTAHAN ORDE LAMA Setelah
merdeka, khususnya pada tahun-tahun pertama setelah kemerdekaan,
keadaan ekonomi Indonesia sangat buruk, ekonomi nasional boleh dikatakan
mengalami stagflasi. Defisit neraca saldo pembayaran dan defisit
keuangan pemerintah sangat besar, kegiatan produksi di sector pertanian
dan industri manufaktur praktis terhenti, tingkat inflasi sangat tinggi
hingga mencapai lebih dari 500 % menjelang akhir periode orde lama.
Semua ini disebabkan oleh berbagai factor, di antaranya:
pendudukan
JepangPerang Dunia IIperang revolusimanajemen ekonomi yang
burukketidakstabilan kehidupan po;itikseringnya pergantian
cabinetketerbatasan factor produks
Selama periode 1950-an, struktur
ekonomi Indonesia masih peninggalan jaman kolonialisasi. Pada umumnya
kegiatan ekonomi yang masih dikuasai pengusaha asing tersebut lebih
padat kapital dibanding kegiatan-kegiatan ekonomi yang didominasi
pengusaha pribumi.
Struktur ekonomi seperti itu disebut Dual Societes
oleh Boeke (1954), yang merupakan salah satu karakteristik utama dari
negara-negara sedang berkembang, yang merupakan warisan kolonianisasi.
Dualisme di dalam struktur ekonomi seperti ini terjadi karena biasanya
pada masa penjajahan pemerintah yang berkuasa menerapkan diskriminasi
dalam kebijakan-kebijakannya, baik yang bersifat langsung seperti
mengeluarkan peraturan atau undang-undang, maupun yang tidak langsung.
Diskriminasi ini sengaja diterapkan untuk membuat perbedaan dalam
kesempatan melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu antara penduduk
asli dan orang-orang non pribumi.
Nasionalisasi perusahaan-perusahaan
Belanda (dan asing lainnya) yang dilakukan pada 1957 dan 1958 adalah
awal dari periode “ekonomi terpimpin”. System politik dan ekonomi pada
masa orde lama, khususnya setelah “ekonomi terpimpin” dicanangkan,
semakin dekat dengan pemikiran sosialis-komunis. Sebenarnya pemerintah
khususnya dan masyarakat umumnya, memilih pemikiran politik berbau
komunis hanya merupakan refleksi dari perasaan anti kolonialisasi, anti
imperealisasi dan anti kapitalisasi pada masa itu. Di Indonesia pada
masa itu prinsip individualisme, persaingan bebas dan perusahaan
swasta/asing sangat ditentang oleh pemerintah dan masyarakat umumnya
prinsip tersebut sering dikaitkan dengan pemikiran kapitalisme.
Keadaan
ini membuat Indonesia sulit mendapat dana (pinjaman dan Penanaman Modal
Asing) dari negara-negara barat. Sumber utama PMA di Indonesia berasal
dari Belanda.
Akhir Sptember 1965, ketidakstabilan politik di
Indonesia mencapai puncaknya dengan terjadinya kudeta yang gagal dari
PKI, yang selanjutnya juga mengubah system ekonomi Indonesia dari
sosialis ke semikapitalis.
PEMERINTAHAN ORDE BARUTepatnya Maret
1966 Indonesia memasuki pemerintahan orde baru. Perhatian pemerintah
lebih ditujukan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat
pembangunan ekonomi dan social di tanah air. Hubungan dengan negara
barat dijalin kembali dan ideology komunis dijauhi. Indonesia kembali
menjadi anggota PBB, IMF dan World Bank.
Langkah yang dilakukan pada masa orde baru antara lain:
pemulihan
stabilitas ekonomi, social dan politik serta rehabilitasi
ekonomimencukupkan stok cadangan bahan pangan (terutama
beras)menghidupkan kegiatan produksimeningkatkan ekspormenekan tingkat
inflasimengurangi defisit keuangan pemerintahmenciptakan lapangan
pekerjaanmengundang kembali investor asingpenyusunan rencana pembangunan
lima tahun secara bertahap dengan target-target yang jelas.
Secara
keseluruhan program ekonomi pemerintah orde baru dibagi menjadi dua
jangka waktu yang saling berkaitan yaitu Program jangka pendek dan
Program jangka panjang. Program jangka pendek meliputi:
tahap
penyelamatan (Juli-Desember 1966)tahap rehabilitasi (Januari-Juni
1967)tahap konsolidasi (Juli-Desember 1967)tahap stabilisasi
(Januari-Juni 1968)
Program jangka pendek ini dilanjutkan dengan
program jangka panjang, yang terdiri atas rangkaian REPELITA yang
dimulai April 1969. program jangka panjang dibagi menjadi
tahapan-tahapan Repelita. Tahap pelaksanaan Pelita I (1969/1970) sampai
Pelita V (1993/1994) disebut Pembangunan Jangka Panjang 25 tahun
Pertama (PJP I). Sedangkan Pelita VI sampai Repelita X disebut PJP II.
Namun pemerintah orde baru hanya dapat menyelesaikan sampai tahap
pembangunan pelita VI sedangkan pelita VII hanya sempat dilaksanakan
satu tahun anggaran.
Adapun tujuan janka panjang dari
pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa orde baru adalah meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui proses industrialisasi dalam skala
besar, yang pada saat itu diangggap satu-satunya cara yang paling tepat
dan efektif untuk menanggulangi masalah-masalah ekonomi, seperti
kesempatan kerja dan defisit neraca pembayaran.
Pada masa
pemerintahan orde baru pelaksanaan pembangunan senantiasa diarahkan
pada pencapaian tiga sasaran pembangunan, meskipun prioritasnya
berubah-ubah sesuai dengan masalah dan situasi yang dihadapi saat ini.
Ketiga sasaran tersebut dikenal dengan Trilogi Pembangunan:
stabilitas
perekonomianpertumbuhan ekonomipemerataan hasil-hasil
pembangunanDampak Repelita I dan pelita-pelita berikutnya terhadap
perekonomian Indonesia cukup mengagumkan. Proses pembangunan berjalan
sangat cepat dengan laju pertumbuhan rata-rata per tahun yang cukup
tinggi, jauh lebih baik daripada selama orde lama dan juga relatif lebih
tinggi daripada laju rata-rata pertumbuhan ekonomi dari kelompok
negara-negara berkembang.
Perubahan ekonomi structural juga
sangat nyata selama masa orde baru bila dilihat dari perubahan PDB,
terutama dari sector pertanian dan industri. Meningkatnya kontribusi
output dari sector industri manufaktur terhadap pertumbuhan PDB selama
periode orde baru mencerminkan adanya proses industrialisasi atau
transformasi ekonomi di Indonesia dari negara agraris ke semi industri.
Ini merupakan salah satu perbedaan nyata dalam sejarah perekonomian
Indonesia antara rezim orde baru dengan orde lama.
Sejak masa
orde lama hingga berakhirnya orde baru dapat dikatakan Indonesia telah
mengalami 2 orientasi kebijakan ekonomi yang berbeda, yakni ekonomi
tertutup yang berorientasi sosialis pada jaman Soekarno ke ekonomi
terbuka yang berorientasi kapitalis pada jaman Soeharto. Perubahan
orientasi kebijakan ekonomi ini membuat kinerja ekonomi nasional pada
pemerintahan orde baru lebih baik dibanding pemerintahan orde lama.
Pengalaman
ini menunjukkan beberapa kondisi utama yang harus dipenuhi terlebih
dahulu agar usaha membangun ekonomi berjalan baik. Kondisi-kondisi
tersebut adalah sebagai berikut:
kemauan yang kuat (political will)stabilitas politik dan ekonomiSDM yang lebih baiksystem politik dan ekonomi yang Western Orientedkondisi ekonomi dan politik dunia yang lebih baik
Kebijakan-kebijakan
ekonomi masa orde baru memang telah menghasilkan proses transformasi
ekonomi yang pesat dan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi
dengan biaya yang sangat mahal dan fundamental ekonomi yang rapuh.
Dapat dilihat antara lain pada buruknya kondisi sector perbankan
nasional dan semakin besarnya ketergantungan Indonesia terhadap modal
asing, termasuk pinjaman dan impor.
PEMERINTAHAN TRANSISITanggal
14 dan 15 Mei 1997 nilai tukar bath Thailand terhadap dolar AS
mengalami goncangan hebat akibat para investor asing mengambil keputusan
“jual”. Mereka mengambil sikap demikian karena tidak percaya lagi
terhadap prospek perekonomian negara tersebut, paling tidak untuk jangka
pendek. 2 Juli 1997 bank sentral Thailand terpaksa mengumumkan nilai
tukar bath dibebaskan dari ikatan dengan dolar AS. Sejak itu nasibnya
diserahkan sepenuhnya pada pasar. Hari itu juga pemerintah Thailand
meminta bantuan IMF.
Apa yang terjadi di Thailand akhirnya
merembet ke Indonesia dan beberapa negara asia lainnya, awal dari krisis
keuangan di Asia. Rupiah Indonesia mulai terasa goyang sekitar Juli
1997 dari Rp.2500 menjadi Rp.2650 per dolar AS. Sejak saat itu, posisi
mata uang Indonesia mulai tidak stabil.
Sekitar September 1997,
nilai tukar rupiah yang terus melemah mulai menggoncang perekonomian
nasional. Untuk mencegah agar keadaan tidak bertambah buruk, pemerintah
orde baru mengambil beberapa langkah konkrit, di antaranya menunda
proyek-proyek senilai Rp.39 trilyun dalam upaya mengimbangi keterbatasan
anggaran belanja negara yang sangat dipengaruhi perubahan nilai rupiah
tersebut. Awalnya pemerintah berusaha menangani krisis rupiah ini
dengan kekuatan sendiri. Akan tetapi setelah menyadari merosotnya nilai
tukar rupiah terhadap dolar AS tidak dapat dibendung lagi dengan
kekuatan sendiri, lebih lagi karena cadangan dolar AS di BI mulai
menipis karena terus digunakan untuk intervensi untuk menahan atau untuk
mendongkrak kembali nilai tukar rupiah. 8 Oktober 1997 pemerintah
Indonesia meminta bantuan keuangan dari IMF. Hal yang sama juga
dilakukan pemerintah Thailand, Filiphina dan Korea Selatan.
Akhir
Oktober 1997 IMF mengumumkan paket bantuannya pada Indonesia yang
mencapai 40 milyar dolar AS, 23 milyar di antaranya adalah pertahanan
lapis pertama (front line defence). Sehari setelah pengumuman itu,
seiring dengan paket reformasi yang ditentukan oleh IMF, pemerintah
mengumumkan pencabutan ijin usaha 16 bank swasta yang dinilai tidak
sehat. Ini merupakan awal kehancuran perekonomian Indonesia.
Krisis
rupiah yang menjelma menjadi krisis ekonomi akhirnya menimbulkan
krisis politik yang dapat dikatakan terbesar dalam sejarah Indonesia
sejak merdeka. 21 Mei 1998 presiden Soeharto mengundurkan diri dan
diganti oleh wakilnya BJ.Habibie. 23 Mei 1998 presiden Habibie membentuk
kabinet baru, awal terbentuknya pemerintahan transisi.
4. PEMERINTAHAN REFORMASIDalam
hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, pada 1999 kondisi
perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju
pertumbuhan PDB mulai positif walaupun tidak jauh dari 0 % dan pada
tahun 2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi
dengan laju pertumbuhan hampir mencapai 5 %.
Selama
pemerintahan reformasi, praktis tidak ada satupun masalah di dalam
negeri yang dapat terselesaikan dengan baik. Berbagai kerusuhan social
yang bernuansa disintegrasi dan sara terus berlanjut, misalnya
pemberontakan di Aceh, Maluku, dsb. Belum lagi demonstrasi buruh
semakin gencar yang mencerminkan semakin tidak puasnya mereka terhadap
kondisi perekonomian di dalam negeri, juga pertikaian elit politik
semakin besar.
Selain itu,
hubungan pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Abdurahman Wahid dengan
IMF juga tidak baik, terutama karena masalah amandemen UU no.23 tahun
1999 mengenai Bank Indonesia, penetapan otonomi daerah, terutama
menyangkut kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri dan
revisi APBN 2001 yang terus tertunda pelaksanaannya. Tidak tuntasnya
revisi tersebut menyebabkan IMF menunda pencairan bantuannya, padahal
roda perekonomian nasional saat itu bergantung pada bantuan IMF.
Selain itu, Indonesia terancam dinyatakan bangkrut oleh Paris Club
(negara-negara donor) karena sudah kelihatan jelas bahwa Indonesia
dengan kondisi perekonomian yang semakin buruk dan defisit keuangan
pemerintah yang terus membengkak, tidak mungkin mampu membayar kembali
hutangnya yang sebagian besar akan jatuh tempo pada 2002. bahkan Bank
Dunia juga mengancam akan menghentikan pinjaman baru jika kesepakatan
IMF dengan pemerintah Indonesia macet.
SEJARAH
KETATA NEGARA DAN POLITIK PEMERINTAHANMembahas sejarah tata negara baik
secara makro maupun mikro, berarti masuk ke kawasan politik. Sedangkan
wilayah politik itu sendiri dapat dikaji dari segi: sejarah politik,
sosiologi politik, antropologi politik, dan ilmu politik.
Dimensi ini
saling mengoreksi dan melengkapi dalam pembahasannya, sehingga
ditemukan fenomena yang utuh tentang konsep sejarah tata negara. Oleh
karena itu dalam pembahasannya, sejarah tata negara tidak dapat bediri
sendiri, sehingga memerlukan suatu terminologi yang lebih
multidimensional dalam pendekatannya. Pertama sejarah politik.
Dari
segi efistomologis sejak Thucydides menulis Perang Peloponesianya
sebagai sejarah politik, tradisi sejarah sangat didominasi oleh sejarah
politik. Lebih-lebih dalam abad ke-19 sebagai abad nasionalsme dan
formasi negara nasional di Eropa Barat, sejarah politik-lah yang sangat
menonjol. Dalam konsep itu, sejarah diplomasi dan perang sangat menonjol
di suatu pihak, dan di lain pihak peranan para raja, panglima perang,
dan negarawan memegang peranan sentral. Fenomena ini masih kuat
pengaruhnya sampai sekarang. Hai ini disebabkan oleh adanya angapan
bahwa jalannya sejarah ditentukan oleh kejadian plitik, diplomasi,
perang, dan aktivitas militer. Di samping itu ada pula teori orang
besar, yang mengatakan bahwa orang besarlah yang menentukan jalannya
sejarah. Fenomena ini terbukti dari banyaknya karya biografi tokoh-tokoh
sampai pada Perang Dunia II. Perkembangan itu sejajar dengan
berkembangnya sejarah nasional yang pada masa tersebut sedang mengalami
pertumbuhan yang pesat.
Mempelajari sejarah politik, tidak dapat
dilepaskan dari sejarah sosial. Tulisan dengan dimensi itu dapat dilihat
pada tulisan Akira Nagazumi, “Bangkitnya Nasionalisme Indonesia” dalam
edisi bahasa Indonesia. Demikian pula sebaliknya, sejarah sosial tidak
dapat dilepaskan dengan sejarah politik. Lihat tulisan Sartono
Kartodirdjo, 1966, Pemberontakan Petani Banten 1888.
Kemudian apakah
yang dibahas oleh sejarah politik. Secara konvensional, sejarah politik
membahas sejarah perang, sejarah parlementer, sejarah kerajaan; dan
sejarah modern dalam arti teori dan metodologisnya sejarah politik
membahas tema-tema yang luas misalnya biografi politik, partai politik,
birokrasi, struktur politik suatu masyarakat atau negara, pemberontakan,
hubungan sivil-militer dan lain sebagainya. Sejarah modern tersebut
lebih bersifat tematis sehingga temanya sangat luas. Di Indonesia ada
dua contoh tentang biografi politik yang dikemas menjadi sejarah politik
misalnya tulisan L.D.Legge dan Dahm yang sama-sama menulis Tentang
Soekarno. Oleh karena itu, membicarakan biografi politik sebagai tema
mikro, dapat dimasukkan sebagai bagian dari sejarah tata negara.
Kedua
sosiologi politik, yang merupakan interdisiplin sosiologi yang pernah
dikembangkan secara metodologis oleh Max Weber abad ke-19. Sosiologi
politik dapat membicarakan tipe kepemimpinan yang menurut teori Weber
ada tiga yaitu: (1) otoritas tradisional yang dimiliki berdasarkan
pewarisan atau turun temurun; (2) otoritas karismatik, yaitu berdasarkan
pengaruh dan kewibawaan pribadi; dan (3) otoritas legal rasional yang
dimiliki berdasarkan jabatan serta kemampuannya. Di negara-negara
berkembang, tipe kepemimpinan rasional dan kharismatik sering
digabungkan menjadi satu. Contohnya sebagai refleksi, dalam diskusi
mengenai korupsi di Indonesia yang diselenggarakan oleh Dewan Pertahanan
Nasional tahun 2000 antara lain dibahas mengenai “Merit Sistem”, yang
artinya bahwa kedudukan atau jabatan harus didasarkan pada prestasi,
sehingga praktek KKN tidak terjadi. Ini berarti bahwa Merit Sistem
didasarkan pada tipe kepemimpinan rasional. Di samping itu sosiologi
politik, selain membahas tipe kepemimpinan baik formal maupun in formal,
juga membahas struktur politik, partai politik, partisipasi politik,
hubungan sivil-militer, tokoh politik, dan peranan serta fungsi
kelembagaan politik.
Adapun perbedaan antara pemimpin formal dan
informal adalah pada otoritas yang dimilikinya. Pemimpin tipe formal
memperoleh kekuasaan dari jabatan atau pemimpin formal, sedangkan tipe
informal adalah pemimpin informal, dan pada dia ada kekuasaan
karismatis. Dalam konteks Indonesia, tipe formal pada umumnya juga
memiliki otoritas tradisional, ialah golongan aristokrasi yang masih
mempunyai hak mewariskan jabatan, terutama yang memangku jabatan pamong
praja. Pada umumnya pelbagai tipe kepemimpinan menduduki lokasi
sosial-historis dengan orientasi nilai yang berbeda-beda, sehingga
berbeda pula reaksinya terhadap inovasi, yaitu penolakan, adaptasi, dan
asimilasi. Konflik politik dapat dikembalikan kepada faktor
sosiokultural dengan kepentingan ideologi atau nilai tertentu.
Dalam
konsepsi ini, ahli ilmu sosiologi politik telah mengambil sistem
kategorisasi jenis sistem politiknya sekaligus merupakan studi
perbandingan.
Analisis strukturalnya membahas status dan peranan
perbagai elite, hubungan dan perbandingan kekuasaan antara mereka,
kesemuanya dalam kerangka hirarkis suatu sistem feodal. Struktur
kekuasaan sangat menentukan struktur sosial dengan kedudukan birokrasi
yang sangat sentral fungsinya. Dalam hubungan ini sangatlah relevan
menelaah kehidupan sosial antara golongan sosial, terutama dalam
konteks kepentingan, status sosial, ideologi, serta sistem
nilai-nilainya.
Tidak dapat diabaikan kenyataan bahwa tindakan dan
interaksi politik tidak dapat berjalan di luar kerangka kebudayaan
politik (political culture). Di sini tindakan, kelakukan, serta sikap
perlu dilembagakan.
Suatu determinisme sosial sudah barang tentu
berpendapat bahwa seluruh peranan seorang tokoh ditentukan oleh struktur
masyarakat, atau paling tidak peranannya dijalankan dalam batas-batas
struktural masyarakat. Pelaku tidak dapat sepenuhnya melepaskan diri
dari ikatan atau subjektivitas itu, khususnya berkaitan dengan
pandangan dunia. Sebaliknya, perlu diakui bahwa tokoh sejarah acapkali
lebih jauh memandang ke depan atau berperan sebagai perintis atau
protagonis. Protagonisme atau inovasi sering menuntut perubahan
evolusioner sehingga pelaksanaannya menuntut kepribadian atau
kepemimpinan yang kuat. Tepatlah kiranya apabila dikatakan bahwa tokoh
menjadi orang marginal dan pencipta sub-kultur, akhirnya dapat
menciptakan kultur dominan dalam kajian sosiologi politik.
Ketiga
antropologi politik. Pada awalnya, antropologi politik membicarakan
perkembangan masyarakat kesukuan, hal ini karena antropologi lebih
menekankan pada sistem kekerabatan. Kemudian antropologi politik
berkembang pengkajiannya pada simbol-simbol politik, satrategi politik,
hubungan kebudayaan politik, serta adat-istiadat setempat dalam
hubungannya dengan politik. Antropologi politik, sangat erat hubunganya
dengan antropologi sosial. Sebagai permisalan, kolusi dan korupsi yang
terjadi dalam pemerintah politik, akan lebih tajam pembahasannya jika
dikaji dengan antropologi politik.
Hal ini karena menyangkut masalah kebudayaan politik dalam hubungannya dengan korupsi.
Untuk
membahas kerajaan tradisional, sebagai contoh lain, tepatlah kiranya
analisis antropologi politik dipakai untuk mengupas sistem politiknya,
yang mencakup otoritas kharismatis atau tradisional, patrionalisme,
feodalisme, birokrasi tradisional, dan lain sebagainya. Banyak
antropolog semacam itu misalnya Cunningham, Schorl, dan
Schulte-Nordholt. Pada hakikatnya yang mereka hasilkan lebih merupakan
sejarah struktural dengan pendekatan sinkronis.
Maka dari itu,
tepatlah kiranya apabila sejarawan menggarap tema yang sama secara
diakronis, meskipun tanpa mengabaikan pendekatan strukturalnya.
Keempat
ilmu politik. Dalam studi ilmu politik, bidang ketatanegaraan
konsentrasinya hanya negara-negara modern, yaitu negara-negara yang
muncul menjelang Perang Dunia I terutama kerajaan-kerajaan yang mulai
meninggalkan tradisi monarkhi, dan pembahasannya dteruskan pada
negara-negara setelah Perang Dunia II. Dalam hubungan ini, skenario
politik baik di tingkat makro maupun mikro, dapat digambarkan secara
rinci berdasarkan analisis ilmu sosial sedemikian rupa, sehingga dapat
diekstrapolasikan, antara lain:
gejala atau pola umum perjuangan
politik. kecenderungan dalam proses politik yang menunjukkan
keteraturan (regularities).Kedua gejala ini akan menambah makna
kejadian-kejadian serta memberi kemungkinan untuk membuat suatu
perbandingan serta generalisasi.
Dimensi sosial dari proses politik
mencakup status dan peranan elite politik: bangsawan, aristokrasi,
birokrat, kaum intelegensia, elite religius, meritokrasi, teknokrasi,
elite desa, dan lain sebagainya. Otoritas yang mereka miliki antara lain
otoritas karismatis, termasuk pula yang sudah mengalami rutinisasi,
otoritas tradisional, otoritas legal dan rasional. Bagaimana interaksi
dalam proses perjuangan kekuasaan, terutama dalam periode transisi (abad
ke-19 dan ke-20) sewaktu orientasi nilai-nilai bergeser sebagai dampak
proses penetrasi pengaruh Barat dan modernisasi. Posisi sosial kultural
elite masing-masing menimbulkan konflik, yang menimbulkan fenomena yang
bernuansa dari proses sosial dan politik yang selalu berkesinambungan.
Lebih jauh hal ini akan di bahas pada bab-bab berikutnya dari kajian
sejarah tata negara ini.
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa
kajian ilmu politik, berarti memasuki wilayah kekuasaan. Karena dalam
hal ini, ilmu politik berarti ilmu yang membahas tentang bagaimana cara
untuk mendapatkan kekuasaan baik dalam konsep yang bersahaja maupun
modern, dan bagaimana cara-cara untuk mempertahankannya. Konsep ini
tampak sederhana, tetapi setelah memasuki wilayah kajiannya, maka akan
ditemukan fenomena-fenomena yang sangat kompleks, yang mewarnai kajian
ilmu politik, dan memperkaya kajian sejarah ketatanegaraan yang akan
dibahas dalam buku ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar